Selamat Jalan Teman

Tak ada lagi sahabatMusibah itu telah menyabarSegelintir petir bersambut kilatHangus sudah tubuhmu terbakarKesedihan berantai kataTerucapkan rasa cintaPada gadis beliaTeman semasa mudaSendiri menantiElok rupa bidadariJaman silih bergantiKamu masih di hatiSunyi senyap beratapDinding kamar ku pandangNamapak kusam tak sedapKu tengok tanah lapangTerbang burung alap-alapMencari makan dalam

Untuk Dirinya

Malam itu, 28 November yang kelamTerbujur kaku pikirku pada sinar tembaga redupLepas segala sadar pada renungan tentang hidupDingin, dingin dan beku dadakuRasa rindu menyelinap jauh dan tajamSekerjap kulihat diaRenung dan diamMataku tersengatKususul wajahnya, jauh di belakangkuSesenggukan sepi menyergap hatikuIa telah datang, hadir di depan matakuDengan wajahnya yang teduhCantik laksana edelweis

Kau yang Disana

Apa kabar sayangkuKau yang nun jauh di mataKau yang tak pernah aku lihat lagiSenyum mu... Tawa mu dan aroma tubuh muTak kan pernah hilang di hatikuTakkan pernah kubiarkan cinta mu tenggelamHanya karna jarak yang membuat kita tak bersama lagiIngin ku rajut kembali asrama sperti yang duluDisaat kita selalu mengungkapkan isi hati kitaDisaat kita berbagi suka dukaAndai saja ku bisa mengubah takdir

Semuanya Hanya Untukmu

Kan ku hapusSemua resah yang kau rasakan saat ini..Ku ingin menyentuh hatimuAgar kau bisa merasakan detak jantungkuYang penuh dengan cinta dan harapan untukmu...(Whandi Net)

Untuk Pujaan Hati

Kau begitu indah dan mempesona..senyum dan sorot matamu membuat ku terbang ke angkasa...kau bagaikan bidadariyang mampu menghapus smua kesedihan dan gundah yang aku rasakan...ku ingin bisa menatapmu stiap saat...ku ingin selalu ada didekatmutuk mencurahkan kasih sayangyang ku persiapkan hanya untukmu...hanya untukmu pujaan hatiku..Ditulis oleh: WhandiWebsite: www.whandi.net

Selamat Menyambut Bulan Ramadhan

Puji Syukur Hanya untuk-Mu...Tatkala ku tiba di malam penuh berkah,Malam pertama kali pintu surga dibuka lebar,Pertama kali pintu neraka ditutup rapat....Inilah kesempatan kami untuk menjadi putih,Dari hitam kelam yang menyelimuti hati...Marhaban Ya Ramadhan...Selamat Menyambut Bulan Ramadhan yang penuh berkah...Oleh: WhandiSitus : www.whandi.net

Dihatiku Selalu Ada Cinta

T'lah lama ku mengarungi lembah-lembah berduriYang terus menusuk kalbu kuSehingga membuatku rapuh tak berdayaSeakan hidup ini tak ada gunanyaTapi... Ku yakin...Semua itu hanya ujianSemua itu bak permainan hatiYang membuat hidup ini tak yakin akan cintaKu tak pernah menghapus cinta iniKu tak kan pernah membuangnyaKarna... dihatiku selalu ada cintDihatiku selalu ada asa untuk mencintai dan

Kebahagiaanku

Kali ini ku harus membuat semuanya nyata...ku akan kembali kepadanya meski hanya tuk sementara...ku ingin mengingat kenangan masa2 laluyang tak kusadari adalah masa lalukuyang bahagia dan tak kan pernah ada gantinya...kini ku akan pergi menjemput impianyang siap menanti ku hadir disisinya...Walau semua ini tanpa adanya rencana...karena ku tahu ini adalah kuasa dan takdir-Nya...Ku tak biasa

G1RLz in My Live

Q Tenggelam dalam Palung PesonamuDalam Torehan dalam rOna Merah Cakrawala WajahmuSe – Akan Tangis dan tawa MenyatuYang T’akan terpisahkan Gelombang Samudera CemburuQ terjatuh dari K’tinggian tatapan MatamuDalam Pancaran Lukisan binar Purnama di K’dalaman Indah MatamuSe – Akan Terhipnotis kilau SenyumanmuYang T’ akan Terhapus Dinginnya Embun- embun Pagi’Q terjerembab Semak belukan di Untaian Hitam

Hati Gaduh

sebentar saja mengingatmusecepat itu cepat landas hilangsebentar saja melupakanmusekilat itu tak di duga datangapa mau hati tentang gejolakTanpa mukadimah cinta menendangku angkuhmakin berlari, makin tersungkur puladi lubang terjebak hitam mulai memerahtampak buram adanya cahaya hilanglangit menopang agar aku tidak jinggasang perempuan menawar engganmenghibur udara sedih sekelilingkosakata tak

Waktu

Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,

Masih...

Masih lekat kuingat saat kau menangisSadari bahwa dirimu seorang wanitaHanya bisa berharap dan bermimpi tentang cintaMasih lekat juga kuingat saat ku tersiksaBetapa aku cinta tapi tak mampu bersuaraHanya bisa pandangi dan kagumi kehadiranmuBetapa hati mendadak sepi saat kau tak menyapaBaru kemarin taman ini berbunga, dan sekarang mulai layuEsok adalah perpisahan,oh…mengapa keberanian ini tak juga

Di Kala Perpisahan itu

Jika ku bisa memutar waktu....ku akan memberikan semua asa yang kumiliki untuk mu...tak kan pernah ku sia-siakan semua rasa yang telah kita jalin...takkan ku biarkan kau menangis dikala perpisahan itu terjadi...karna sesungguhnya...kaulah orang yang bisa menghapus semua resah dihati...sulit rasanya tuk mencari pengganti mu...Oleh: Whandi

Kupanggil Namamu

Sambil menyeberangi sepikupanggil namamu, wanitakuApakah kau tak mendengarku?Malam yang berkeluh kesahmemeluk jiwaku yang payahyang resahkerna memberontak terhadap rumahmemberontak terhadap adat yang latahdan akhirnya tergoda cakrawala.Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.Ingin kuingat lagi bau tubuhmuyang kini sudah kulupa.Sia-siaTak ada yang bisa kujangkauSempurnalah kesepianku.Angin

Kau Yang Jauh

Jarak pandang yg terhalanh oleh gunung dan lautanNamun mata ku senantiasa terpandang ...karena kau ada dalam ingatan..Aku tak pernah memikirkan kau wujud di hadapan karena cinta muDalam ingatan,kasih mu dalam genggaman,hangatmu dalam pelukanSetiap detik kau tak pernah kulupakan..karena kau selalu dalam do aku...Kau selalu dalm bibir ku.kau selalu dalam hatiku..Kau yang jauh dari pandangan ....

Ada Apa Dengan Cinta

Seperti bulan lelap tidur di hatikuYang bernding kelam dan kedinginanAda apa dengannya?Meninggalkan hati untuk dicaciPercaya…sampai darah ke lutut punAku tak percayaLalu..rumput tersabitSekali ini aku lihat karya surgeDari mata seorang hawaPercaya…tak tahuAda apa dengan cinta ? dan..aku akan kembaliUntuk mempertanyakan cinta nyaBukan untuknya,bukan untuk siapaTapi untuk ku, karena ku ingin

Hati di Atas Kertas

Ku lukis wajahmu di atas senja.Ku ingin kau tahu rasa yang ada.Temani air mata ku...Hinggapi sepi-sepi...Berikan bahagia...Cinta ini akan membawa kita kembali menuai rindu.Lama sudah kita bepisah.Izinkanlah aku berbisik merdu.Bahwa aku masih mencintaimu.Ahmad Alfarisyi"Kata-Kata Indah Para Pujangga"

Keagungan-Mu

Seandainya bila Aku harus pulang..aku ingin menyebut nama muuntuk yang terakhir kali,karena selama aku telah lalaidan telah jatuh ke dunia yang sangat sangat hitam.Di mana akuoh di mana aku ini,aku tidak tahubekal apa yang harus ku bawa pulang nantiYa tuhan selama ini hamba mencurangi waktu,tidak pernah berpikir dengan hati yang jernih,berakal dan penuh dengan keiklasan,hamba hanya meninggi-niggi

Ketika Termenung

di malam heningtermenung.......dalam rengkuhan nistakian larut makin menusukmungkinkah kan hentidusta gantikan bijaktuk sesali yang kelabusaat enggan sebut namaMukini tersudut di pojoktersandar di tembok rapuhharus...harus...harus...walau paksa tuk piliharah hidup yang hakikidalam restu Illahireres, 300790"Kata-Kata Indah Para Pujangga"

Bayang Kepastian

bubar.......kala senyum merona indahsaat lamunkan bayangmuhenyak kaki mengejutkankusejenak dan tak lamapudar.......aku berdiriku kejar sribu bayangentah pasti entah ilusitak bimbang akan sesaltak ragu akan tangisberjalan kesejuta arahtuk temukan...bayang kepastianmuAris Padmoko"Kata-Kata Indah Para Pujangga"

Puisi Tentang Bayangan | Ajip Rosidi

Bayangan
Ajip Rosidi

Bayanganmu terekam pada permukaan piring, pada dinding
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku berpaling:
Dan di atas atap rumah angin pun bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia penuh bisik.

Masihkah dinihari Januari yang renyai
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Telah habis segala kata namun tak terucapkan
Rindu yang berupa suatu kebenaran.

Bayangan, ah, bayanganmu yang menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu, kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.

1967

Share

Puisi Cinta dan kepercayaan | Ajip Rosidi

CINTA DAN KEPERCAYAAN
Ajip Rosidi

Dalam hidup 'kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia, didasarkan
Atas cinta dan kepercayaan.
'Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Kehangatan rasa dua jiwa.

Cinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepercayaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.

1960

Share


Puisi Empat Baris | Antara Kita


Antara kita

Ajip Rosidi

Pabila jiwa bertelanjang depan jiwa
Suatu pun tiada guna: basa-basi, upacara ....
Jarak pun tiada lagi, sehingga cukuplah
Sekulum senyum, sekerling mata. Sudah!

1960

Share


Puisi Tema Diriku | Puisi Berjudul Diriku

Diriku
Ajip Rosidi

Diriku samudra
Dilayari kapal, perahu, bajak
Tiada jejak.

Yang sementara
Berasal dari Tiada
'Kan lenyap dalam
Tada

1961

Share


MASIHKAH BUNGA `KAN MEKAR | Puisi Puisi Perjuangan

MASIHKAH BUNGA `KAN MEKAR
Dadan Dania DK

Langit memerah darah manakala Yogya berpagar sangkur
pagi-pagi empat Mei empat tujuh
fajar memudarkan pijar belulang yang terbakar
kenyataan memanggilmu tampil
insyaf akan tanggung jawab
yakin akan kebenaran Islam
Yoesdi Ghazaii, Anton Timoer, Nursyaf, Ibrahim dkk
menuntunmu bangkit sebagai anak kandung revolusi.

Udara pertama yang kauhirup
wanginya mesiu
atas kerikil dan onak yang terserak
beranjak meniti hari yang bertaji
dada membusung punggung terpampang
menantang cambuk dan dera seterumu
bekalmu semata takwa,
takwa yang membinar jadi syukur
manakala pesona bertahta di beranda sukma
takwa yang berpijar jadi sabar
manakala petaka tersaji di serambi hati.

Bagai debu di garis horison,
tak orang baik-baik berpikir akan ujudmu
bagai punguk di balik awan
tak orang benar-benar mendengar akan cicitmu

Jalur yang terentang putus diranjah mereka
kauluruskan telunjuk dengan gemeletuk gigi
"setapak saja langkah meranjah sela hela
menjamah ranah membentang prana sengketa
gemerlap derapmu kurancap ...
tercapai atau tergapai", itu serumu.

Tekad yang terpahat, tombak mahaampuh meruntuhkan musuh
perisai tangguh menadah pongah punah,
kendati jiwa terpancang atas gelinjang lantang
t'lah kau perketat sekerat ikat.

PADA SIANG PADANG SIA

PADA SIANG PADANG SIA
Dadan Dania DK

Slang dengan geranggang garang
terjang
pancang belulang penyangga daging
guncang
hari yang cabik mengajak diri menelusuri nyanyian pagi
melacak rengkak yang terpijak dan terarak
tak hendak aku berandai akan mungkin yang lunglai.

Tangga senja yang terpana
teratak yang retak telapak yang porak
cahaya pun poranda
'kan kuselusupkan anganku ke bawah ketiak sayap malam
tanpa meniti senja berselakah.

Siang yang kerontang menyengat-nyengat
menusuk-nusuk
bumi yang gatal hari yang binal
gelinjang surya tersandung bukit
(Matahari tak berkedip melumat moleknya pagi)
mengapa tak kureguk pagiku yang hangat?
mengapa tak kupeluk pagiku yang erat?

Bertegar pada siang
sukma kemoyak mengejar jentera yang tercampak
bumi, tidakkah kau lupa?
darah dan nanahmu tercecer sepanjang saat
ayo kembali pada jejakmu
ayo temani aku menengok pagi

jangan hantarkan pada koyaknya senja
tiada rela desahku sedah dan sepah,
tanpa usia puas mengunyah.


Cimahi,1398H

SSSSST ... JANGAN RIBUT, TUHAN LAGI RAPAT

SSSSST ... JANGAN RIBUT, TUHAN LAGI RAPAT
Dadan Dania DK

Lewat konsepsi setengah jadi,
Tuhan menggiring manusia ke meja diskusi
petuah pun senggama dengan serapah.

Tuhan mengibar panji meniup sangkala dahana laga
di padang yang sarat, t'lah sepakat malaikat jadi wasit
kala langit kesumba jadi merah dan membara
Tuhan-tuhan jadi panglima mendera divisi
pekik yang cabik dan teriak yang koyak
sesayat kecewa terlempar dari semangat yang terjerat
seiris tangis yang bersamaan, adalah lahar yang merembes
di kaki bukit.

Dengan menyandang Asahi pentax,
kuandai satu kabar yang berkobar
(Seorang anak meratap dengan keranda mayat tanpa isi di sisinya
"Jenazah Tuhanku hilang dimangsa elang"
Adalah penjejal headline harian sore kotaku.

seonggok umat mengumpat-umpat
menyumpah-nyumpah
pada tuhannya.
"tuhan yang pengecut,
kautinggal kami dalam jerat."

Mereka memang umpan mapan yang larut dan latah
jadi sasaran terdepan
sepah dikunyah ketamakan tuhannya.

Kutinggalkan mereka yang tak mau punya anak karena
merasa Tuhan mulai miskin
kutinggalkan mereka yang menganggap Tuhan kurang cerdik
dan mengajak-Nya berpolemik

Jauh dan pertarungan yang tak henti,
dalam bilikku dalam satu sudutnya)
Allah tersenyum padaku
padamu
pada mereka dan semesta cipta.

Dalam sujud
dalam simpuh
kubisikkan lirih, "Mereka diperdaya tuhan yang khianat."


Cicalengka,1398 H

BARA | Puisi Dadan Dania DK

BARA
Dadan Dania DK

Pagi yang kering menyulut huma dan terbakar
aku tersesat di tengah bara
siang pun garang menendang gersangnya pagi
bebek-bebek terserak begitu saja melepas teriak
hendak diguncang kenyataan dengan kelantangannya
hendak disesaki kenyataan dengan teriaknya
sedang aku tersekat di kepengapan sempitnya sekat
susut pada satu sudutnya, diremas ganasnya kenyataan.

Bebek-bebek itu, juga aku
kian parau kian risau
kelu dan kaku dalam kebisuan yang terpaksa
gembala hanyalah tonggak-tonggak bergetah,
wajahku, ... kau lihatlah wajahku,
adakah berdarah?

Tatap pun nanar kian pudar
dan isak makin serak
dan ratap makin senyap
langkah pun gontai kian lunglai
kaku kakiku terpaku berat terpahat
karena kata yang tak kau dengar
karena cita yang tak tergapai

Panasnya kenyataan membakar kenangan dan harapan,
gembala pun tunduk sembunyi di balik tudung
dari sinisnya kerling surya yang menghantam
tudung pun kian kering
hati pun kian kering
kering
kering
diriku lihatlah diriku
kering
kerontang
diganggang kenyataan yang terik.


Cimahi, 1397H

PLOT YANG HILANG | Liku-liku laku laki-laki luka

PLOT YANG HILANG
Dadan Dania DK

Liku-liku laku laki-laki luka
lagi-lagi laga lagu-lagu lugu
kata kita-kita kutu-kutu kota
tumpuk'ndak tampak
makar mekar di kamar tak berkumur

Liku-liku laku laki-laki luka
kusobek sabuk kusibak sibuk
kugali gula-gula gila
kubakar kabar-kabar kubur kabur
kukapar pikir ke koper
kucari ciri-ciri cara curi coro-coro.

Liku-liku laku laki-laki luka
uring-uring urung orang-orang
hingga sangkar tersungkur
sangkur tersingkir

hingga
kuku-kuku
kakiku
kaku-kaku

PAGI-PAGI DI BINAMUDA | Dadan Dania DK

PAGI-PAGI DI BINAMUDA
Dadan Dania DK

Masih pagi,
ketika datang dirimu di senggang fana
ujung kerudungmu melambai seiring gontai
tertunduk wajah mengeja langkah
tengadah di beranda kelas
anggun wajahmu mengayun tatap
terbata mataku di matamu.

Masih pagi,
ketika datang dirimu di luang rasa
kini kueja langkahmu pelan
hingga lumat ditelan lalang dan lolong.

Masih pagi,
ketika kau lewat dan aku terjerat.

Cicalengka, 1397H

PINTU DIKETUK | Dadan Dania DK

PINTU DIKETUK
Dadan Dania DK

Pintu diketuk
tuk
tuk
tuk
(menari jemari tanpa kemudi
atas tuts mesin tik)
remuk
hiruk pikuk

duduk
tunduk
mengangguk
menepuk
menggaruk
ngantuk
batuk
meneguk

tepuk
garuk
teguk
batuk
uk
uk
uk
k
mengetik
matematik

yang mengetuk pintu itu aku
yang jemu dari buku-
buku
ku

BIARKAN HATIMU BERBINCANG PADAKU

BIARKAN HATIMU BERBINCANG PADAKU
Buat Herry

Dadan Dania DK

Herry ...
Temaram lorong yang kita lewati
temaram bilik yang kita tempati
temaram pula malam yang merangkul

Kita bawa sepi atas delman-delman kecewa
kita isi sunyi dengan merdunya cengkrama
kita bias lara terkelupas.

Biarkan hatimu berbincang padaku
terpekur menekuni katamu satu-satu
sekolah, jelita, dan cita yang menerpamu
memapahmu ke teluk teduh
menyeretmu ke lembah kesah
sendunya risau dan gurau yang galau.

Herry...
pada bundel dukaku, secarik laramu susut
sesuap riangku merana dalam piring sukamu
sekolah, jelita, dan cita menderamu
indahnya pagiku

Padahal kau segera lunglai dalam belaian andai
cambuk hari ini adalah yang terlunak, pampangkan punggungmu.

Akh, muaknya hati menatap sepi yang menari
menatap manja yang terjaja
kecewa adalah dera tiada tara
sunyi penjara tak terperi
di tepi danau gita ceritamu, garis ringis melukis paras
kerdilnya jiwa yang lusuh berdebu.
Kerongkongan, tembok perintang hati menggapai mulut
masih tersendat ceritaku buatmu
sedang malam kian larut
larut sajalah kau dengannya
masih perlu kulipat langit yang runtuh terjuntai
agar mentari tak lagi meronta.

Selamat malam.


Cicalengka, 1397H

TIADA KULIHAT MATAMU MENGUCAP CINTA

TIADA KULIHAT MATAMU MENGUCAP CINTA
Dadan Dania DK

Zahra,
kupetik jeruk-jeruk mungil di kebunmu
lalu mataku tersesat pada sela jemarimu
pada alunan suaramu
pada senar gitar akustikmu
tangga bagi tatap dari jari hingga rona
Dan tiada kulihat matamu mengucap cinta

Tatap yang kutancap jadi kesiap pada jemarimu
sejenak lagumu terhenti
jemari yang tak lagi lekat pada gitar, cengkrama denganku
pelan kutelusuri remasmu
parasmu
Dan tiada kulihat matamu mengucap cinta

Ketika rinai berderai dan pekat menyekat lorong esde satu
kencan kita tanpa sengketa
cerita akan diri akan duri
hanya lengan yang berlabuh di bahumu
ketika kita sambung jalan talaga bodas dari ujung ke-ujung D
an tiada kulihat matamu mengucap cinta

Telah kusebut Bandung adalah perang tak berujung
lalu kubimbing desahku menghirup napas Wanaraja
tatapmu jadi perangkap
akupun lelap dalam dekap
dalam kecup

Dan tiada kulihat matamu mengucap cinta

Wanaraja yang asri, nyatanya penjara sepi tak terperi
lantas kupacu diriku menerjang juang tak kunjung reda
hendak kulupa matamu tanpa cinta
hendak kulunak detak yang menghentak
hendak kukatupkan kuak yang menggerit
namun rindu tiada terperabu
meronta dan perkasa
dari jauh terulur matamu mengusap hanjuku
kuhadapkan tatap padamu
tiada rasaku terbias dimensi kala dan antar

Dan tiada kulihat matamu mengucap cinta.


Wanaraja, 1397H

SELIMUT CINTA MERURUB KITA | Puisi Cinta

SELIMUT CINTA MERURUB KITA
Untuk Naida Panjaitan

Dadan Dania DK

Naida
Tak kupikir, cinta gelimang hidup cuma
Tak kupikir, kita kembara bumi cuma
Cinta, butir padi di huma
Kita, percik peluh altar siang.

Di Viaduk ini
Riak Cikapundung mengajak pergi
Selimut cinta merurub kita
Dan mata bercakap tanpa kata
Kita pulang Naida
Kita jelang papamu yang berkecak
Kita jelang ayahku yang norak dan lembut
Deru kereta membentur dada....
Ayo menyisih, jangan silaukan mata
Kita pulang Naida ....
Kita jelang Bapak dari segala Bapak
Kita jelang Kasih dari segala Kasih
Pada Yesus yang tabah mengunyah hatimu
Pada Allah yang mesra memeluk jiwaku.
Kita pulang.

Biografi Dadan Dania D.K.

Lahir di Wanaraja, Garut, 7 Maret 1957, menghabiskan masa kanak-kanaknya di Pesantren Wanaraja, kemudian aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) mulai dari tingkat ranting sampai tingkat Pengurus Besar (1983-1985).

Jebolan Fakultas Ushuludin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menggiatkan diri dalam pendidikan dan pelatihan keislaman. Bersama beberapa sahabatnya : Nina Surtiretna, Anne Rufaidah, dan Rachmat Taufiq Hidayat menulis buku Anggun Berjilbab (Al-Bayan, Bandung, 1995). Sekarang menjabat sebagai Ketua Bidang Sosial dan Dakwah Yayasan Bina Muda Cicalengka (2002-2007)

Kepada Tuhan | Puisi Untuk Tuhan

Kepada Tuhan
Ajip Rosidi

Tuhan. Kulihat tanganMu mengulur gemetar
Dalam mata anak yang lapar. Dan perutMu melilit
Dalam permainan licik bandit-bandit. TubuhMu telantar,
Terlupakan dalam onggokan bangkai membukit.

Tuhan. Kudengar suaraMu parau
Dalam riuh-rendah caci-maki para penipu
Yang saling tuduh, saling tinju
Tapi bersama-sama seia mengisap darahMu.

Tuhan. Kusaksikan diriMu diinjak kawanan kerbau
Yang liar, garang dan kejam. Memandang haus dunia
Yang Kauharamkan dalam kitabMu, tapi Kausediakan
Dalam dirinya. Tiada kendali.

1962



Share

Puisi Tentang maut

Tentang maut
Ajip Rosidi

I

Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.

Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.

Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".

II

Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"

III

Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.

1960

Share


Sajak buat Tuhan | Puisi Tentang Tuhan

Sajak buat Tuhan
Ajip Rosidi

II

Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkalaa tiap langkah buntu.

Tak seorang pun, juga Kau
datang mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.

Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.

Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi ....


16-4-1960


Puisi Judul Aku | Ajip Rosidi

AKU
Ajip Rosidi

Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.

Lengang sebatang pinang
Di padang pusaran topan.

Segala arah menyerang. Dari luar, dalam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa

1963



Puisi Tuhan | Sajak buat Tuhan


Sajak buat Tuhan
Ajip Rosidi

I

Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra

Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja

Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan.

8-1-1960

Share


Ibunda | Puisi Untuk Ibunda

Ibunda
Ajip Rosidi

Ia terbujur
Bumi subur
Lembah-lembah dan gunung
Telentang tenang
Tangannya mengusap sayang
Perut mengandung.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menyandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masadepan si-jabang
yang dalam rahim
menggeliat geli.
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?"
Keringat bermanik bening
Atas jidat, kening.
Ia mengerang
Dan malam yang lengang
Mendengar lantang
Teriakan si-jabang.

1961

Share

Kebenaran | Puisi Tentang Kebenaran

Kebenaran
Ajip Rosidi

buta oleh dusta yang membias-silau
nilai-nilai kebenaran pun disembunyikan:
namun di antara semak-rumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
Tak nanti terpadamkan!

Share


Harituaku | Puisi Tentang Hari Tua

Harituaku
Ajip Rosidi

Pabila harituaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. La1u tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yang putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata ...

Maka namamu 'kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.

Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu diam. Mati.

1963

Share


Hari Lebaran | Puisi Tentang Hari Raya Lebaran

Hari Lebaran
Ajip Rosidi

Hari ini hari hati percaya
Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat
Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya
Jalan panjang menuju liang-lahat.

Hari ini hari kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita
Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi.

Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
Kelengangan elang di langit tinggi.

Jatiwangi, H. 1381

Share


Jeram | Kumpulan Puisi Tentang Jeram

Jeram
Ajip Rosidi

Air beterjunan dalam jeram
Buihnya memercik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam
Atas tanganku yang mencari-cari
Arah manakah burung gagak hinggap
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
Sehabis hujan.

Air beterjunan dalam jeram
Jerom gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian yang nyaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang mataku memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan 'kan tiba
Di muara

Air beterjunan dalam jeram
Kata-kata beterjunan dari mulutku
Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.

Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terjawab tanya lama

Yang sudah lama hanya tanya: Hingga mana? Pabila?
Mau apa... ?

Dan dengan jari-jari gemetar
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
Berlaku percuma serta sia-sia

Dan perempuan ini 'kan mati dalam kepingin
Karena angin hanya angin

Karena jeram beterjunan dalam diriku
Yang tak mengenal musim kemarau

Air beterjunan dalam jeram
Dan jeram beterjunan dalam darahku.

1962

Share


Episode | Puisi Episode Ajip Rosidi

Episode
Ajip Rosidi

Di luar alam gerimis
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.

Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
rumpun bambu berkesiur, burung terbang,
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh.

Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali



1963

Share

Tiada yang lebih aman

Tiada yang lebih aman
Ajip Rosidi

Tiada yang lebih aman, pun tiada yang lebih nikmat
Membayangkan masalampau yang dalam kenangan terpahat.

Tiada yang lebih berat, pun tiada yang lebih berarti
Dan saat kini yang 'kan seg'ra lepas pula jadi mimpi.

Tiada yang lebih gamang, pun tiada yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang 'kan segera jadi sekarang.

Detik-detik berloncatan, tak satu pun kembali terulang
Karena antara tadi dan nanti, sekarang menghalang.

1962

Share

Jalan lempeng | Puisi sebuah lukisan S. Soedjojono

Jalan lempeng
sebuah lukisan S. Soedjojono

Ajip Rosidi

Burung gagak, burung gagak! Biarkan dia berjalan!
Biarkan dia berjalan, membungkuk pada keyakinannya
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia melangkah
Pasti dan yakin. Karena ada mimpi di balik gunung itu:
Lembah hijau hidup segar. Karena di sini batu mencair
Gurun mati. Tandus dan sepi.

Burung gagak, biarkan dia berjalan. Di ruas-ruas langkahnya
Menyala dendam pada bumi lampau. Di dadanya padat kesumat
Pada dunia kehidupan yang mati di sini.

Burung gagak, sampaikan salamku padanya. Salam bagi
Yang sudah melangkah atas keyakinan. Salam bagi
Yang sudah berani bikin perhitungan tandas sekali.

Gunung-gunung yang membatu, gersang dan kering,
kan takluk pada tapaknya.
Satu demi satu kan dilewatinya. Ia terjang dunia mati.

Burung gagak, kini ia berjalan. Melangkah dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak cair meleleh seperti bumi yang menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadaNya.
Semua kan menyerah pada langkahnya. Karena ia berjalan
Atas keyakinan.

Biarkan dia berjalan!

Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi diri.
Burung gagak, ia dengar nyanyi itu. Dan ia menuju ke situ.

Pohon-pohon mati dan sepi. Padang pun mati dan sepi.
Batu-batu mencongak ngeri, tajam dan mengancam.
Tapi ia melangkah menuju lembah-lembah mimpi.

Ia sendirian. Batu-batu dan alam geram.
Gunung mendinding di ujung. Langit pun kan menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu cair jadi beku.

Langit pun jadi membiru, mengucapkan selamat jalan
Menempuh kehidupan.

Burung gagak, burung gagak, biarkan dia berjalan
Sampaikan salam yang erat dan hangat. Ia yang yakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah hijau dan lembut
Kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput....

Jangan kauganggu!

1955


Share


Penyair | Puisi Tentang Penyair

Penyair
Ajip Rosidi

1

adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia

menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka

2

siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari

lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti

lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati

yang selalu sunyi


1954




Share


Warna | Puisi Warna Karya Ajip Rosidi

Warna
Ajip Rosidi

menyala warna membakar dada
hari-hari penuh bisa
waktu dihabisi mimpi-mimpi
bocah meningkat dewasa

tiga jalan pertemuan
dalam mengerti
dalam diri
menyerah ke mata nyalang

warna nyala dalam waktu dalam ruang
selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti

1954



Share

Puisi Tentang Dukaku Yang Risau

Dukaku yang risau
Ajip Rosidi

berjalan, berjalan selagi di diri duka
bernapas lega menemu perempuan
kami berpandangan: lantas tahu
segalanya tinggal masa kenangan

kami berjalan memutar danau
namun kutahu: dukaku yang risau
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan

kupandang matanya:
tak kukenal siapa pun juga

semuanya nanar
didindingi kabut samar


1954


Share


Puisi Tragedi | Kematian

Kematian
Ajip Rosidi

i

lelaki bernyanyi sepenuh hati
didorongnya beton ke puncak tinggi
di hari sebelum lebaran
di rumah anak menunggu baju baru

tapi tali putus beton terguling
lelaki tak lagi bernyanyi

ada isteri jadi janda
ada anak kehilangan bapak
di hari sebelum lebaran

pintu tak terbuka
ayah tak kembali
sia-sia menanti
sepanjang hari

ii

muka yang sudah remuk
anaknya menjerit yatim
ayah bisakah mati

muka yang tiada lagi bentuk
tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka

1954



Share


Bunda | Puisi Kasih Sayang Bunda

Bunda
Ajip Rosidi

nyanyi menayang mimpi ke pangkuannya
damai pun terlena dalam hati
mewujudkan kasih dan cinta
yang takkan terhalang meski oleh mati

1954



Share

Puisi Mata Derita

Mata derita
Ajip Rosidi

ada yang datang bermata derita
pagi berwarna olehnya

ada perawan bermata derita
berselendang angin remaja

ada yang memandang ke dalam hatiku
bumi pun jadi biru

ada yang memancar: kebeningan hening
dan segalanya pun tak teraba lagi - -

1954



Share



Lagu kerinduan | Puisi Tentang Lagu Kerinduan

Lagu kerinduan
Ajip Rosidi

wajahmu antara batang kelapa langsing
menebar senyum dan matamu menjadikan daku burung piaraan
semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarpun ke mana

kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat

1954



Share


Nenek | Puisi Tentang Nenek

Nenek
Ajip Rosidi

pancaran mata kasihan diri
sudah tersungkup dalam kerut tua kulitnya
sudah tersinar dari muka lembutnya
di lengkungan dagu di lekukan dahi
terbayang kesia-siaan usia

1954



Share

Angin berkesiur

Angin berkesiur
Ajip Rosidi

angin berkesiur
daun pun gugur

angin berkelana
cintaku mengembara

gadisku mawar
menanti tak sabar

gadis yang rindu
kudekap dalam pelukan bisu

1954




Share

Malam putih | Kumpulan Puisi Bertema Malam

Malam putih
Ajip Rosidi

malam jatuh di senja putih
berangkat ke pangkal pagi
dan keinginan berdekap penuh kasih
sia-sia sekali

1954



Share

la pun kini sunyi

la pun kini sunyi
Ajip Rosidi

ia pun kini sunyi
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini

ia pun bernyanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka

ia pun sunyi
ia pun sendiri

1954


Share


Rindu berguling sendiri

Rindu berguling sendiri
Ajip Rosidi

rindu berguling sendiri
putus mengharap
dinding putih-putih
dan di baliknya: kesepian pengap

radio di sebelah batas
suaranya samar -
kudengar diriku menghela nafas
dengan hati yang cabar

1954



Share

Puisi Tentang Pejalan sepi | Ajip Rosidi

Pejalan sepi
Ajip Rosidi

ia tembus kesenyapan dinihari
sepatunya berat menunjam bumi
menempuh kola yang lelap terlena
dalam pelukan cahya purnama

is tembus kedinginan pagi
siulnya nyaring membelah sunyi
membangunkan insan agar bangkit
dalam pertarungan hidup yang sengit

di sebuah jembatan ia berhenti
dihirupnya udara sejuk dalam sekali:
bulan yang mengambang atas air kali
adalah gambaran hatinya sendiri!

1954




Share

AKU BERADA KEMBALI | Koleksi Puisi Chairil Anwar

AKU BERADA KEMBALI
Chairil Anwar

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna,kapal kapal,
elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;

rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
juga disinari matari lain.

Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.

Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang sebentar-sebentar
seterang
guruh

1949

TJERITA BUAT DIEN TAMAELA | Chairil Anwar

TJERITA BUAT DIEN TAMAELA
Chairil Anwar

Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu

Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut

beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan

beta pattiradjawane pendjaga hutan pala
beta api dipantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama

dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba

mari menari !
mari beria !
mari berlupa !

awas ! djangan bikin bea marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !

beta ada dimalam, ada disiang
irama ganggang dan api membakar pulau …….

beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu

Puisi Angkatan 45 Chairil Anwar | Nisan

NISAN
Chairil Anwar

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
DENGAN MIRAT

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas

Aku dan engkau hanya menjengkau
rakit hitam

‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran hitam?

Matamu ungu membatu

Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu

1946

Derai Derai Cemara | Puisi Terkenal Chairil Anwar

DERAI DERAI CEMARA
Chairil Anwar

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS | Kumpulan Puisi Chairil Anwar

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Chairil Anwar

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

MALAM DI PEGUNUNGAN | Puisi Puisi Chairil Anwar

MALAM DI PEGUNUNGAN
Chairil Anwar

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

CINTAKU JAUH DI PULAU | Puisi Cinta Chairil Anwar

CINTAKU JAUH DI PULAU
Chairil Anwar

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

SAJAK PUTIH | Kumpulan Karya Chairil Anwar

SAJAK PUTIH
Chairil Anwar

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…


SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946

HAMPA | Puisi Tentang Sepi

HAMPA
kepada sri

Chairil Anwar

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti

DOA | Puisi Doa Kepada Tuhan Karya Chairil Anwar

DOA
kepada pemeluk teguh

Chairil Anwar

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

PENERIMAAN | Aku masih tetap sendiri

PENERIMAAN
Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.


Maret 1943

Puisi AKU - Karya Chairil Anwar

AKU
Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


Maret 1943

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO | Contoh Puisi Chairil Anwar

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Chairil Anwar

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

(1948)

Liberty,
Jilid 7, No 297,
1954

DIPONEGORO | Puisi Pahlawan Perjuangan

DIPONEGORO
Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)
Budaya,
Th III, No. 8
Agustus 1954

KRAWANG-BEKASI | Puisi Tentang Perjuangan

KRAWANG-BEKASI
Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

MALAM | Puisi Malam Chairil Anwar

MALAM
Chairil Anwar

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru,
No. 11-12
20-30 Agustus 1957


PRAJURIT JAGA MALAM | Puisi Chairil Anwar

PRAJURIT JAGA MALAM
Chairil Anwar

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

1948
Siasat,
Th III, No. 96
1949

Biografi Chairil Anwar (1922-1949)

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Indragiri Riau, berasal dari nagari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan dari pihak ibunya, Saleha yang berasal dari nagari Situjuh, Limapuluh Kota [1] dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [2]

Chairil masuk sekolah Holland Indische school (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.


Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[3]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[4]

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).


Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[5] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

  • Deru Campur Debu (1949)
  • Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
  • Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
  • Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
  • Derai-derai Cemara (1998)
  • Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
  • Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:

  • Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
  • Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
  • Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
  • Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
  • The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
  • The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
  • Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
  • The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar

  • Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
  • Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
  • Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
  • S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
  • Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
  • Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
  • H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
  • Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
  • Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
  • Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
  • Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
  • Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

Sumber : Wikipedia

Puisi Tentang Hongkong | WS Rendra

Hongkong
Puisi Ws Rendra

Di Hongkong kita tersenyum, menegursapa,
tapi mereka memandang kita dengan curiga.
Bagai si pandir atau si gila dihina.

Di kota ini setiap orang jadi serdadu
kerna setiap jengkal tanah adalah medan laga.
Di jalan yang ramai dan di mana-mana tulisan
Tionghoa

para pelacur menggedel dan menawarkan bencana.
Tuhan dan penghianatan mempunyai wajah yang
sama.

Tak ada mimpi kecuali yang dahsyat dan mutlak mimpi
berkilat-kilat serta nyaring bagai tembaga
terbayang dalam dada atau pun wajah kuli yang
suka bengkelai
Tak ada orang asing di sini.
Setiap orang adalah asing sejak mula pertama.
Orang-orang seperti naga.
Tanpa sanak, tanpa keluarga.
Setiap orang bersiap dengan kukunya.

Kita bebas untuk pembunuhan
tapi tidak untuk kepercayaan.

Orang di sini sukar diduga
Bagai kanak-kanak suka uang dan manisan.
Bagai perempuan suka berlian dan pujian.
Bagai orang tua suka candu dan batu dadu.
Dan bagai rumah terkunci pintunya.
Sukar dibuka.
Tapi sekali dijumpa kuncinya
terbukalah pintu hati
manusia biasa.

Hotel Aichun, Canton

Dalam siang yang tentram
kubuka jendela lebar-lebar
menangkap hawa luar:
Langit yang ramah
dan sejalur ranting leci
membayang nampak pada kaca
di daun jendela.
Lonceng pun berbunyi
dua belas kali.
Dan kipas listrik berputar.
Serba tenang, serba tentram.

Ketika menengok ke bawah
nampak orang-orang yang lamban kepanasan
di jalan batu bata.
Serta lebih jauh lagi
nampaklah Sungai Mutiara
yang lebih payah dari semuanya.
Payah tapi damai.

Tirai sutra Cina penuh berbunga
menambah indah kamar ini.
Dan aku berdandan
di depan lemari berkaca yang besar
serta penuh ukiran naga.
Dalarn sepi dan damai.

Sekarang aku merasa tentram
setelah semalam bergulat dalam diri
dan meredakan rindu dengan mengerti.
Tentu
masih juga mengenangkan
tanah kelahiranku
tetapi bersama kesabaran.
Tanpa menulis sajak-sajak
tanpa bertekun di atas buku
aku ingin memuasi sepi.
Dan sambil membuat lingkaran-lingkaran
dengan asap rokok
kunikmatilah sebuah istirah
yang lumayan.

Gereja Ostankino, Moskwa

Gereja Ostankino, Moskwa
WS Rendra

Menaranya cukup tinggi
tapi menggapai sia-sia.
Pintunya mulut sepi
rapat terkunci
derita lumat dikunyahnya.

Sretenski Boulevard

Di sepanjang Sretenski Boulevard
kuseret langkahku
dan kebosananku.

Di bawah naungan pepohonan rindang
di sepajang jalan bersih dengan bunga-bungaan
kucekik kebosananku
dalam langkah-langkah yang lamban.

Di Sretenski Boulevard
di bangku panjang
di antara pasangan berciuman
dan orang tua membaca buku
kuhenyakkan tubuhku yang lesu
kuhenyakkan kebosananku.

Maka
sambil diseling memandang
pasangan yang lewat bergandengan
dan ibu mendorong bayi dalam kereta
kupandang pula di depanku
kelesuanku dan kejemuanku.

Terang bukan soal kesepian
di tengah berpuluh teman
dan wanita untuk berkencan.
Masing-masing orang punya perkelahian.
Masing-masing waktu punya perkelahian.

Dan kadang-kadang kita ingin sepi serta sendiri.
Kerna, wahai, setanku yang satu
bernama kebosanan!

Di sepanjang Sretenski Boulevard
di sepanjang Sretenski Boulevard
di tempat yang khusus untuk ini
kuseret langkahku
dan kebosananku.
Lalu kulindas
di bawah sepatu.

Sebuah Restoran, Moskwa

Sebuah Restoran, Moskwa
WS Rendra

Melalui caviar dan vodka
kami langgar sepuluh dosa.
Di atas kain meja yang putih
terbarut tindakan yang sia-sia.
Botol-botol anggur yang angkuh
dan teman wanita yang muda
adalah hiasan malam yang terasa tua.
Hari-hari yang nampak koyak-moyak
disulam dengan manis oleh wajahnya.
Dalarn kepalsuan
kami berdua bertatapan.
Bahunya yang halus berkilau biru
oleh cahaya lilin dan lampu.
Pintu-pintu berpolitur
dengan tirai untaian merjan.
Sementara musik berbunyi
jam berapa kami tak tahu.
Di atas kursi Prancis
kami bertukar senyum
dan tahu
masing-masing saling menipu.
Dengan gelas-gelas yang tinggi
kita membunuh waktu
dalam dosa.
Bila begini:
Manusia sama saja dengan cerutu
bistik atau pun whiski-soda
berhadapan dengan waktu
jadi tak berdaya.

Sungai Moskwa

Di hari Minggu
Valya tertawa
dan rambutnya yang pirang
terberai.

Di atas biduk yang kecil merah
kami tempuh air
melewatkan jam-jam yang kosong.

Berpuluh pohonan
tumbuh di dua tepi sungai
bagai jumlahnya dosa kami.
Semua daun
berubah warna.
Musim gugur sudah tiba.

Di atas air yang hijau
kami meluncur
diikuti bayang-bayang yang kabur.
Melewati lengkungan jembatan.
bagai melewati lengkungan kekosongan.
Musim gugur sudah tiba.

Valya tertawa
dadanya terguncang
di dalam sweaternya.
Musim gugur sudah tiba.

Sanatorium Chakhalinagara, Moskwa

Sanatorium Chakhalinagara, Moskwa
WS Rendra

Hatiku terbaring telanjang di meja
di atas piring
di samping pisau, senduk, dan garpu,
selagi aku duduk di kursi putih
dengan koran tak bisa dibaca
di pangkuanku.
Pintu balkon yang terbuka
menampakkan terali yang hitam
serta langit yang tua renta.
Bayangan gelas dan teko porselin
dipantulkan kaca pintu.
Kemudian nampak pula diriku;
Wajahku yang sepi setelah dicuci,
hatiku yang rewel dan manja.
Siapa pula aku tunggu?
Siapa atau apa?

Perawat datang dengan wajah yang heran.
Ia menggelengkan kepala:
"Kamerad tak makan?
"Lyuda, aku tak bisa makan.
Tak bisa kumakan wajah kekasih
tak bisa kuminum ibuku bersama susu
dan tak bisa kuusap mata adik dengan mentega!"
Ia mengangkat bahu dan bertanya.
Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu!

Apabila ia lenyap dart pintu
dengan langkah lunak di atas permadani
ia tak akan tahu
bahwa waktu pernah beku dan berhenti
segala bunyi dan warna tanpa makna
dan bahkan
bagi mimpi, duka, derita, maupun kebahagiaan
tak ada pintu yang membuka.

Moranbong, Pyongyang

Moranbong, Pyongyang
WS Rendra

Aku akan tidur
di rumputan
di tepi kolam.
Sementara undan
dan belibis
berenangan.
Lihatlah, aku berdosa.

Aku akan tidur
di bawah pohon liu
yang rindang.

Dalam waktu yang mewah
tapi hampa
aku berjalan dalam taman
mengintip pasangan bersembunyi
di dalam hutan.
Sambil makan
jagung bakar
dan apel Korea

mendengarkan lagu rakyat
dinyanyikan orang.
Kantongku pun penuh dosa.

Lalu kupilihlah tempat ini.
tempat tidurku di rumputan
dekat tembok pagar yang tua
memandang kuil beratap merah
dan angin lewat
untuk pergi ke lembah yang jauh.
Mencuri dosa.

Aku akan tidur
di tepi kolam
di bawah pohon liu
yang rindang.
Aku payah oleh dosa.

Hotel Internasional, Pyongyang

Hotel Internasional, Pyongyang
WS Rendra

Di malam yang larut itu
dengan jari-jari yang rusuh kubuka pintu balkon
dan lalu bergumullah diriku dengan sepi.
Malam musim gugur yang tidak ramah
mengusir orang dari jalanan.
Dan pohon-pohon seperti janda yang tua.
Kecuali angin tak ada lagi yang bernyawa
Di dalam sepi orang menatap diri sendiri
menghadap diri sendiri
dan telanjang dalam jiwa.
Angin Pyongyang mengacau rambutku
dan bertanya:
"Lelaki kurus dengan rambut kusutmasai
engkau gerangan putra siapa?"
Lalu kulihatlah wajahku yang tegang,
diriku yang guyah, serta hatiku yang gelisah.
Aku mencoba ramah dan menegur diriku:
"Hallo! - Ada apa?"
Malam yang larut itu gemetar dan kelabu.
Kesepian menghadap padaku bagai kaca.
"Ayolah, buyung!
Kau toh bukan kakek yang tua!
Lalu aku pun tersipu
meskipun tahu
itu tak perlu

MADAH LAUT | Puisi Tentang Madah Laut

MADAH LAUT
Beni R Budiman

Laut adalah luka tanpa harga
yang mengaduh sia-sia
ketika kata lupa pada bahasa
dan kepala hanya tulang rangka


I
Telah lama kaucintai laut
hingga kapalmu berkayuh
jauh pada tumpukan ombak
pada angin yang berdengung
menyuling badai di suatu palung

"Laut hanya seekor laba-laba
yang rajin memintal sarang
hingga kita tak mampu merayap
menuju ujung jaring langkahnya
Kita akan terjebak di piuh jalan
jauh sebelum sampai tujuan."

Pada birunya yang berlapis
dan bertumpuk seperti kesedihan
kauarahkan hati mengayuh sauh
sungguhpun kau akan kesasar
menentukan haluan kapal

Kau tahu matahari telah berkhianat
memeluk hangat tubuh laut
dan melumat basah bibir pantai


hingga gairahnya berjatuhan seperti
hujan bulan Desember

Matahari sungguh terlalu angkuh
Cahayanya yang menyengat
lebih suka menyeduh kopi
daripada membakar para keparat
yang mengunyah terumbu karang
dan berlindung pada kapal dagang

Kau rindu laut karena sungai-sungai
selalu bertamu dan mencium pipinya
yang lembut seperti agar-agar
serta mengelus tubuhnya yang sintal
meliuk di gigir cekung teluk

"Laut adalah anak-anak
pangeran muda yang riang
yang jiwanya enggan diam
yang senang bernyanyi
sambil kedua kakinya menari
pada terjal karang dan panggung pasir."


II
Laut juga yang membuatmu sadar
dan beta jar menumpahkan kemarahan
tidak dengan mengulum puting payudara
dan licin paha pelacur musiman di jalur pantura
tapi pada kapal tangker yang menyelundupkan
minyak bumi dan upeti dari negeri jajahan


pada perompak yang duduk di parlemen
dan pada ratu bodoh penguasa negeri dongeng

Dari laut itulah kau paham
betapa dendam berkawan dengan kelewang
dan kebencian kita timbun rapi
seperti karung beras di gudang orang tamak

(Suatu hari karung-karung itu
akan berubah menjadi bom waktu
yang meledak saat lapar meruyak)

Kemarahan itu pun kita pasang
seperti perangkap tikus di tiap kampung
Setelah itu segera kita bermimpi
tentang daging dan buah yang segar
di sebuah pulau tanpa penghuni
karena perang saudara menerjang


III
Ternyata laut bukan anak-anak kecil
yang enggan diam setelah kenyang
menghisap puting susu ibunya

"Laut adalah malam yang gelisah
yang menulis sisi buram legenda cinta
raja Jawa yang takluk pada ratu siluman ular
tapi tak mau tunduk pada penjajah Belanda
saat cahaya bintang dan kelip tongkang


berpelukan di atas hamparan gelombang hitam
hingga separuh bayang bulan cemburu."

Lalu orang berbondong datang
menaiki ratusan perahu nelayan
membawa seba kepala kerbau
melemparkannya ke lepas laut
sambil meminta ratu berbaik hati
memberi panen ikan berlimpah
dan nelayan tambat dalam selamat

Tapi selepas pesta kauundang ratu
dari atas bukit karang yang teduh
seperti memanggil seorang gadis
penghibur dari sebuah klab malam

"Kemarilah kau ratu yang cantik
datanglah dengan kereta kencanamu
yang gemerlap berteteskan permata
bersama dayang-dayangmu yang jelita
Kenakan gaun sutera birumu yang tipis
hingga kulit yang bening bagai ubur-ubur
dan payudara seruncing mulut hiu itu
menegangkan seluruh urat zakarku,"
begitu kau bisikkan hasrat liarmu
lewat semilir lembut angin darat

Tapi ratu tak bisa jatuh cinta
pada lelaki iseng yang malang
dan taut di selatan hilang ingatan


(Di selatan laut tak bisa mendengar
karena seluruh suara tinggal lenguh
yang meluncur dari mulut penguasa
yang dusta pada seluruh rakyatnya)

Hanya ombak besar bergulung
menggoyang-goyang karang
mengirim jawaban rindumu
lewat percik yang menjilat leher
dan angin yang mengelus rambut


IV
Kembali kaucumbu taut
setelah paham betapa gunung
tak bisa menahan pohon-pohon
yang hijau dan rindang tumbang

Sedang kau tak mampu menghardik
petualang lapar yang membutuhkan
unggun saat dingin malam menyerang
dan tungku nasi kehabisan bara api

Maka kau kembali memilih laut
mencari pasir putih yang landai
dengan gadis-gadis setengah bugil
yang membiarkan tubuhnya melepuh
setelah seharian dikunyah matahari

Kau pun bermimpi menjadi matahari
yang tak pemah sekalipun b,erkedip
pada setiap payudara yang terbuka
dan selangkangan yang menantang

"Kaukira laut hanya gadis-gadis
yang selalu siaga mengantarmu tidur
di suatu pulau penuh taman bunga
dengan dada bertabur gairah cinta
la mungkin gadis pemandu wisata
yang senang menyuguhkan tequilla
sesekali mengajak tamu-tamu dansa
sambil mendesahkan indah kata cinta
dengan menjilat leher dan daun telinga
hingga tulangmu segera meregang."

Tapi kukira laut bukan gadis-gadis itu
la adalah penyair yang berbudi baik
yang mengajak jalan ke sebuah pasar
dan membelikan ikan jambal besar
karena ia tahu benar bahwa istri
dan dua anak lelakiku dalam lapar

Laut baginya adalah buah kesetiaan
mungkin rasa cinta seorang teman
yang tulus setelah tahu betapa hidup
hanya tumpukan cerita penuh luka


V
Akhirnya kaupinang gairah laut
menjadi istri dan catatan harianmu
yang harus kaugauli di mana saja


Maka ribuan kalimat pun mengalir
seperti air sungai dari puncak gunung
Kata pun berhamburan menulis buih
setelah ombak membantun kapal

Dan dalam benakku laut itu mengalir
memasuki goa-goa di tiap bukit batu
menjebol jendela semua rumah mewah
menyeret seluruh sejarah yang berdarah

Laut bukan muara bagi semua suara
yang meneriakkan duka dengan gema
bukan gudang beras bagi tiap nelayan
bukan tempat pelacur yang menghuni
separuh panti pijat di kota-kota besar
mencuci lubang sisa kelenjar yang sial
bukan tempat membuang hajat pejabat
yang iseng saat rapat dinas di luar kota

(Laut adalah pengembara sejati
yang memuja seluruh topan
dan merobek bendera di tiang kapal)

Dan kini ia melangkahkan kakinya
mendaki seluruh tebing dan lereng
menyusuri jejak kaki setiap pendaki
mengalihkan haluan semua kapal
memindahkan dermaga dari dataran
ke puncak gunung paling tinggi
mengubur seluruh mercusuar
menghanyutkan setiap kitab
yang diturunkan pada para Nabi


la tak lagi gadis manis yang menanti
sungai-sungai datang menjumpainya
tapi ia mengejar sumber mata air
yang menetes dari puncak gunung

1997-2000

CAMPING | Kumpulan Sajak Penunggu Makam

CAMPING
Beni R Budiman

Di bawah gunung kesepian bergulung dan memuncak
Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan
Tebing batu cadas dan pinus-pinus yang mendengus
Angin mengirim cuaca sembab. Hujan, tertahan awan

Dan dalam suasana temaram pohon karet berbaris
Sujud dalam sakit yang sama. Memberat ke arah
Barat. Burung-burung pun datang dan pergi dalam
Irama yang pasti. Udara seakan sendu membatu

Dan hidup seperti kumpulan tenda yang dibangun
Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang
Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yang rindu
Dilantunkan petualang di antara lereng dan jurang

1996

Dua Kumpulan Sajak"Penunggu Makam"
Beni R. Budiman

Puisi KASMARAN | bersama Diwana Fikri Aghniya

KASMARAN
bersama Diwana Fikri Aghniya

Beni R Budiman

Tiba-tiba saja kita seperti orang yang sedang
Belajar menjadi anak dan ayah. Di mesjid itu
Keharuan seperti sungai gunung mencari lembah
Dan kita hanyutkan harapan sampai ke ujung sepi
Muara bagi setiap doa dan ikan membuat janji

Kita pun menjelma puisi yang hidup di antara dua
Keabadian surga dan neraka. Kita berkhayal sebagai
Keluarga Lukman yang kekal sepanjang zaman. Tenang
Bersama wajah-wajah malaikat yang putih. Dan Tuhan

Kita terus kasmaran sepanjang kumandang azan. Dan
Lupa pada bumi yang selalu menyanyikan lagu pilu
Juga pada rumah yang penuh desah dan tumpukan
sampah

Kita terus berpelukan dalam irama Tuhan. Berlayar
Di antara pulau-pulau yang kemilau, mencari Lukman ...

1996

Dua Kumpulan Sajak"Penunggu Makam"
Beni R. Budiman

Blog Archive